Sarjana Kelautan, Bersuaralah!


Keruk pasir laut. Sumber: Shutterstock, dan tempo.co, https://bisnis.tempo.co/read/1732369/diajak-menteri-kkp-gabung-tim-kajian-ekspor-pasir-laut-greenpeace-kami-fokus-pada-penolakan-pp-26-tahun-2023

Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu….

(Apa Guna, Karya Wiji Thukul)

Kampus-kampus di Indonesia telah berhasil meluluskan sarjana-sarjana dengan disiplin kelautan, dari disiplin Ilmu Kelautan (biologi laut), oceanography (fisika laut) hingga Teknik Kelautan (teknik pantai dan laut). Bahkan, tumbuhnya kesadaran terhadap potensi besar laut Indonesia, setelah Soeharto jatuh dan digantikan Gus Dur, memunculkan program-program Studi Kelautan baru di beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Ini tentu kabar baik bagi Indonesia yang merupakan negeri sejuta lautan. Di negeri ini laut bukan pemisah antar pulau, tapi penghubung. Terbayang sudah di depan mata, kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir yang selama Orde Baru berkuasa dilupakan.

Tapi bayangan itu seperti mimpi di siang bolong.

Kini, jutaan nelayan terancam tidak bisa melaut untuk mencari ikan. Rumah-rumah meraka juga terancam tenggelam. Ya, krisis iklim telah mengancam hidup meraka.

Di tengah kebingungan jutaan nelayan dan keluarganya akibat ancaman krisis iklim, negara yang harusnya melindungi keselamatan mereka justru mengeluarkan peraturan yang ugal-ugalan. Salah satu peraturan itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Bagaimana tidak, peraturan itu membuka lagi kran ekspor pasir laut yang sejatinya sudah ditutup selama 20 tahun.

Apa nampaknya bagi masyarakat pesisir?

Kebijakan ekspor pasir laut akan menambah ekploitasi pasir laut di negeri ini. Secara fisika laut, pengerukan pasir laut akan menyebabkan perubahan permukaan dasar laut. Perubahan ini akan mengubah pola arus dan gelombang. Perubahan pola arus dan gelombang akan membuat wilayah pesisir menjadi rentan terkena abrasi. Kawasan pesisir yang rentan tenggelam akibat krisis iklim akan semakin bertambah kerentanannya akibat kebijakan ijin ekspor pasir laut ini. Bukankah dulu, 20 tahun lalu, penghentian ijin ekspor pasir laut karena beberapa pulau kecil terancam tenggelam karena akitivitas penambangan pasir laut?

Para pembela kebijakan ekspor pasir laut berdalih, bahwa pengerukan pasir laut justru menyehatkan ekosistem. Sedimentasi di laut, selain akan membuat laut dangkal dan mengganggu jalur pelayaran juga akan mengancam ekosistem terumbu karang.

Pertanyaannya kemudian, kenapa sedimentasi di laut tidak dikendalikan di hulunya? Kenapa justru menunggu semua sedimentasi menuju laut dan kemudian membenarkan untuk ditambang dan dijual? Sudah dapat dipastikan bahwa dailh menjaga ekosistem dan memperlanjar alur pelayaran untuk membenarkan ekspor pasir laut hanya akal-akalan. Kepentingan ekonomi segelintir pemilik modal dalam ekspor pasir lautlah yang mendominasi keluarnya ijin ekspor pasir laut ini.

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah, kemana larinya para sarjana kelautan lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta itu, saat melihat kehidupan jutaan nelayan dan masyarakat pesisir terancam akibat kebijakan ekspor pasir laut? Kemana suara mereka saat melihat dengan Ilmu mereka, lingkungan hidup di kawasan pesisir hendak dihancurkan oleh aktivitas tambang pasir laut? Dimana suara mereka?

Sebagai seorang sarjana-sarjana kelautan, harusnya mereka #BersamaBergerakBerdaya bersama nelayan dan masyarakat pesisir untuk menyelamatkan sumber-sumber kehiduapan di pantai dan laut. Harusnya, mereka berkata,  “#UntukmuBumiku, akan kami perjuangkan sekuat tenaga agar ijin ekspor pasir laut dibatalkan!”

Tapi apa daya para intelektual di bidang kelautan itu diam seribu bahasa. Mereka seakan membiarkan jutaan nelayan dan masyarakat pesisir berjuang sendirian menghadapi para pemilik modal yang akan mengekspor pasir laut untuk akumulasi laba mereka.

Di saat-saat krisis seperti ini harusnya para sarjana kelautan bersuara. Mereka tidak boleh diam saja melihat kerusakan laut dan pesisir sedang dilakukan di depan mataya. Sebagai seorang sarjana, mereka memiliki tanggung jawab keilmuan untuk bersuara. Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!”


Leave a comment